GENDER DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
TERHADAP PEREMPUAN
Oleh : Wiwik Subekti, S Sos, MM
A. PENGERTIAN GENDER
Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan.
Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini kita sering sekali mencampur adukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah, dengan ciri-ciri manusia yang bersifat non kodrat yang sebenarnya bisa berubah atau diubah.
Pembedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada perempuan dan laki-laki. Dengan mengenali perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realita relasi perempuan dan laki-laki yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Jadi jelasnya mengapa gender perlu dipersoalkan? Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologi yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.
Secara sederhana perbedaan gender telah melahirkan pembedaan peran, sifat, dan fungsi yang terpola sebagai berikut:
Anggapan bahwa sikap perempuan feminin atau laki-laki maskulin bukanlah sesuatu yang mutlak kepemilikan manusia atas jenis kelamin biologisnya. Dengan demikian Gender adalah perbedaan peran, nsifat, tugas, fungsi dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sehingga untuk memahami konsep gender, harus dibedakan kata gender dengan kata sex.
Sex adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanen dan universal. Jadi jelas bahwa jenis kelamin atau sex adalah perbedaan biologis hormonal dan anatomis antara perempuan dan laki-laki. Sex tidak bisa berubah, permanen dan tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan karenanya bersifat mutlak, sedangkan gender adalah perbedaan antara laki laki dan perempuan dalam hal persifatan, peran, fungsi, hak perilaku yang dibentuk oleh masyarakat karenanya bersifat relatif, dapat berubah dan dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain
B. DISKRIMINASI GENDER
Diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistim dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidak-adilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai strukur yang ada dimasyarakat.
Ketidak-adilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki. Meskipun secara agregat ketidak adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak - adilan gender itu berdampak pula terhadap laki-laki.
Bentuk-bentuk manifestasi ketidak-adilan akibat diskriminasi gender itu meliputi:
a. Marginalisasi
Marginalisasi adalah kondisi peminggiran/pemiskinan salah satu jenis kelamin. Sebagai contoh : persyaratan masuk AKABRI harus laki laki, dengan demikian perempuan dipinggirkan, dianggap tidak pantas atau tidak ada atau tidak diberi kesempatan sama sekali.
b. Sub ordinasi
Sub ordinasi pada dasarnya adalah kondisi dimana salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Masih banyak kenyataan yang memperlihatkan bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang lebih rendah di bandingkan laki-laki.
Contoh : Anak laki-laki harus sekolah setinggi tingginya sedang anak perempuan cukup lulusan SLTP saja.
c. Stereotipe
Adalah cap atau pelabelan pada salah satu jenis kelamin. Pelabelan ini pada umumnya bersifat negatif. Sebagai contoh, perempuan sebagai pelacur. Perusak rumah tangga, dll
d. Beban ganda
Beban ganda adalah beban kerja yang bertumpuk tumpuk (berlebihan) yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin.
Contoh : seorang isteri yang bekerja mencari nafkah dan tetap mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan suaminya.
Kata ‘kekerasan” yang merupakan terjemahan dari “violence” adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental seseorang. Jadi kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik seperti perkosaan, pemukulan, penyiksaan, tetapi juga bersifat non fisik seperti ancaman, paksaan dan sebagainya
Keterkaitan Indonesia untuk melaksanakan kebijakan global yang telah disepakati dalam International Conference on Population and Development (ICPD) 1994 menuntut penyelenggaraan program yang lebih berorientasi pada kesetaraan dan keadilan gender. Dengan kata lain bahwa program pembangunan yang dilaksanakan harus memungkinkan laki laki dan perempuan untuk mengambil bagian yang seimbang.
Kondisi tersebut tidaklah mudah untuk diwujudkan sementara fakta-fakta tentang adanya diskriminasi, seperti pelabelan negatif/stereotipe terhadap perempuan, penomorduaan, peminggiran dan sebagainya masih banyak terjadi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Salah satu penyebab terjadinya diskriminasi tersebut adalah masih kurangnya pemahaman dan kepekaan terhadap masalah masalah gender khususnya oleh para pembuat keputusan, pengelola, perencana dan pelaksana program serta masyarakat pada umumnya termasuk peran Media Masa yang pengaruhnya sangat besar kepada khalayak / masyarakat luas dan penyebarannya sangat cepat.
Oleh karena itu, perjuangan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender perlu diawali dengan peningkatan pemahaman dan kepekaan terhadap masalah-masalah gender baik yang terjadi pada kehidupan berkeluarga, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara.
Usaha-usaha untuk mencapai Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sebetulnya sudah lama diusahakan oleh berbagai pihak, baik secara internasional maupun nasional. Secara internasional beberapa konvensi telah menghasilkan keputusan-keputusan yang mendukung; apalagi dengan diselenggarakannya konferensi kependudukan di Kairo (ICPD 1994) dan Konferensi Wanita Sedunia di Beijing (1995); KKG sudah menjadi isu yang sangat penting dan harus dilaksanakan oleh seluruh negara.
Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilalan kebijakankebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), maka Pemerintah Indonesia melalul GBHN 1999 menyatakan bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga pemerintah dan swasta guna mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan gender (KKG). Meskipun begitu usaha untuk mencapai Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh masyarakat pada umumnya dan khususnya oleh kaum perempuan.
Akhirnya disepakati perlu adanya strategi yang tepat dan dapat menjangkau keseluruh instansi pemerintah, swasta, masyarakat dan lain sebagainya.
Strategi tersebut dikenal dengan istilah Gender Mainstreaming (GMS) atau Pengarus Utamaan Gender (PUG). Sedemikian pentingnya strategi ini sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan Inpres yang selanjutnya dikenal dengan Instruksi Presiden Nomor. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
C. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP PEREMPUAN
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.
Seringkali kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan gender. Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. "Hak istimewa" yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai "barang" milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta menunjukan bahwa KDRT memberikan efek negatif yang cukup besar bagi wanita sebagai korban.
D. KDRT DALAM PERSPEKTIF GENDER
Signifikansi menggunakan gender sebagai basis analisa dalam permasalahan ini yaitu untuk mendorong terjadinya perubahan paradigma terhadap KDRT dengan obeservasi sebagai berikut, "Daripada menanyakan kenapa pihak pria memukul, terdapat tendensi untuk bertanya kenapa pihak perempuan berdiam diri"
Analisa gender mendorong kita tidak hanya menanyakan mengapa pria melakukan kekerasan, tetapi juga menanyakan kenapa kekerasan terhadap perempuan terjadi dan diterima oleh banyak masyarakat. Merestrukturisasi pertanyaan tesebut merupakan hal penting dalam melakukan pembaharuan hukum, khususnya dari perspektif keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif gender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terletak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara pria dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pria. Sebagaimana disampaikan oleh Sally E. Merry, "Kekerasan adalah… suatu tanda dari perjuangan untuk memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan muncul, dalam analisa tersebut, sebagai sensitifitas jender dan jenis kelamin".
E. PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DARI KDRT
KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut meliputi, Universal Declaration of Human Rights ("UDHR"), the International Covenant on Civil and Political Rights ("ICCPR"), dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ("ICESCR") yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing.
Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban. Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal yang sama dapat pula dilakukan di bawah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women ("CEDAW") beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment ("CAT"). Demikian juga, instrumen regional dapat memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban. "The European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms ("ECHR"), the American Convention on Human Rights ("ACHR"), bersama dengan the Inter-American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women ("Inter-American Convention on Violence Against Women"), dan the African Charter on Human and Peoples' Rights ("African Charter") merupakan dokumen utama HAM regional yang dapat dijadikan landasan bagi korban KDRT."Perlindungan Terhadap Perempuan
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang 'Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga'.
a. Bentuk KDRT Terhadap Perempuan
Tindak kekerasan fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya.
Tindak kekerasan non-fisik adalah tindakan yang bertujuan merendahkan citra atau kepercayaan diri seorang perempuan, baik melalui kata-kata maupun melalui perbuatan yang tidak disukai/dikehendaki korbannya.
Tindak kekerasan psikologis/jiwa adalah tindakan yang bertujuan mengganggu atau menekan emosi korban. Secara kejiwaan, korban menjadi tidak berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu bergantung pada suami atau orang lain dalam segala hal (termasuk keuangan). Akibatnya korban menjadi sasaran dan selalu dalam keadaan tertekan atau bahkan takut.
b. Bentuk KDRT yang lain nya terhadap Perempuan
1. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran.
Pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, seperti di tempat kerja, di kampus/sekolah, di pesta, tempat rapat, dll.
Pelaku pelecehan seksual bisa teman, pacar, atasan di tempat kerja, dokter, dukun, dsb.
Akibat pelecehan seksual, korban merasa malu, marah, terhina, tersinggung, benci kepada pelaku, dendam kepada pelaku, shok/trauma berat, dll
Langkah-langkah yang perlu dilakukan korban:
o Membuat catatan kejadian (tanggal, jam, saksi)
o Bicara kepada orang lain tentang pelecehan seksual yang terjadi
o Memberi pelajaran kepada pelaku
o Melaporkan tindakan pelecehan seksual
o Mencari bantuan/dukungan kepada masyarakat
2. Perkosaan
Perkosaan adalah hubungan seksual yang terjadi tanpa diinginkan oleh korban. Seorang laki-laki menaruh penis, jari atau benda apapun ke dalam vagina, anus, atau mulut perempuan tanpa sekehendak perempuan itu, bisa dikategorikan sebagai tindak perkosaan.
Perkosaan dapat terjadi pada semua perempuan dari segala lapisan masyarakat tanpa memperdulikan umur, profesi, status perkawinan, penampilan, atau cara berpakaian. Berdasarkan pelakunya, perkosaan bisa dilakukan oleh:
o Orang yang dikenal: teman, tetangga, pacar, suami, atau anggota keluarga (bapak, paman, saudara).
o Orang yang tidak dikenal, biasanya disertai dengan tindak kejahatan, seperti perampokan, pencurian, penganiayaan, atau pembunuhan.
Tindak perkosaan membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Secara emosional, korban perkosaan bisa mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan intim dengan lawan jenis, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina, berisiko tertular PMS, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, dan lainnya.
Perempuan yang menjadi korban perkosaan sebaiknya melakukan langkah-langkah berikut:
o Jangan mandi atau membersihkan kelamin sehingga sperma, serpihan kulit ataupun rambut pelaku tidak hilang untuk dijadikan bukti
o Kumpulkan semua benda yang dapat dijadikan barang bukti, misalnya: perhiasan dan pakaian yang melekat di tubuh korban atau barang-barang milik pelaku yang tertinggal. Masukkan barang bukti ke dalam kantong kertas atau kantong plastik.
o Segera lapor ke polisi terdekat dengan membawa bukti-bukti tersebut, dan sebaiknya dengan keluarga atau teman.
o Segera hubungi fasilitas kesehatan terdekat (dokter, puskesmas, rumah sakit) untuk mendapatkan surat keterangan yang menyatakan adanya tanda-tanda persetubuhan secara paksa (visum)
o Meyakinkan korban perkosaan bahwa dirinya bukan orang yang bersalah, tetapi pelaku yang bersalah.
Korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya enggan/tidak melaporkan kejadian karena menganggap hal tersebut biasa terjadi dalam rumah tangga atau tidak tahu kemana harus melapor.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan bila menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, sbb:
o Menceritakan kejadian kepada orang lain, seperti teman dekat, kerabat, lembaga-lembaga pelayanan/konsultasi
o Melaporkan ke polisi
o Mencari jalan keluar dengan konsultasi psikologis maupun konsultasi hukum
o Mempersiapkan perlindungan diri, seperti uang, tabungan, surat-surat penting untuk kebutuhan pribadi dan anak
o Pergi ke dokter untuk mengobati luka-luka yang dialami, dan meminta dokter membuat visum.
F. Artikel ini di tulis dalam menyambut Hari Ibu tanggal, 22 desember 2011, semoga bermanfaat, saran , masukan yang bersifat konstruktif sangat di harapkan.
“Happy Mother days. Goog Bless You”
Desember 2011
Pembuat artikel,
WIWIK SUBEKTI, S Sos, MM
Widyaiswara Bidang Latbang BKKBN Prov. Bali