DENPASAR,
Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bali terus mematangkan rencana kegiatan di tahun sejumlah tantangan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) pun diungkap. Mulai dari angka Total Fertility Rate (TFR) yang tergolong tinggi, hingga Age Specific Fertility Rate (ASFR) di empat kabupaten yang belum mencapai target.
Permasalahan-permasalahan tersebut diungkap oleh Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, Ida Bagus Wirama, S.H., M.Kes. selama pertemuan dengan Penyuluh KB / Petugas Lapangan KB dan Ka. UPT KB se-Bali. Menurut Wirama, hingga tahun 2019 mendatang, Perwakilan BKKBN Provinsi Bali masih menyisakan sejumlah ‘Pekerjaan Rumah’ (PR) besar. Ia menyebutkan, saat ini TFR (jumlah anak yang dipunyai seorang wanita selama masa reproduksinya per 1000 wanita) masih bertahan di angka 2,3. Padahal, sesuai standar nasional seharusnya sudah di angka 2,1 anak.
Diakuinya untuk mencapai target tersebut bukanlah hal yang mudah. Namun, ada beberapa alternatif yang dapat ditempuh. Yakni dengan mengendalikan Age Specific Fertility Rate (ASFR) pada kelompok usia 15-19 tahun. Lantaran berdasarkan hasil Susenas tahun 2015, ASFR Bali berada di angka 30. Bahkan di empat kabupaten, angka ASFR-nya melampaui angka 30 bahkan lebih dari 40. Wirama memaparkan, Bangli ASFR-nya 52, Karangasem 53, Jembrana, 53, serta Buleleng 41. Melihat kondisi ini, ia pun meminta seluruh jajaran agar memfokuskan seluruh kegiatan program KKBPK di empat kabupaten tersebut.
“Posisi ASFR kita berdasarkan Susenas 2015 berada pada angka 30. Di beberapa kabupaten bahkan ada yang angkanya di atas 30 bahkan di atas 40. Seperti Bangli 52, kemudian Karangasem 53, Jembarana 53, dan Buleleng 41. Ada 4 kabupaten yang ASFR-nya masih cukup tinggi. Saya berharap program-program harus difokuskan pada 4 kabupaten tersebut. Khususnya fokuskan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan GENRE (Generasi Berencana),” tegasnya.
Memperoleh pemaparan demikian, Kepala UPT. KB Kecamatan Gianyar, Dra. Desak Putu Agustini menilai untuk saat ini gaung program-program KB memang semakin memudar. Pemicunya disinyalir karena ada desentralisasi pemerintahan. Sehingga, keberlangsungan program-program KB serta pendanaannya sangat tergantung pada pemegang kebijakan. “Hal ini disebabkan mungkin karena ada desentralisasi pemerintahan. Sehingga kalau pemerintah yang memandang gerakan KKBPK tidak perlu, jadi kegiatan atau programnya mungkin saja tidak diperhatikan. Demikian sebaliknya,” ungkapnya.
Meski demikian, Agustini tetap memberikan motivasi kepada rekan-rekannya untuk terus memberikan pembinaan kepada masyarakat. Utamanya kepada pasangan usia subur, agar bersedia mengikuti program KB. “Bagaimana caranya kiat kita di lapangan, memberikan pembekalan atau Advokasi dan KIE kepada pemerintah dan masyarakat, khususnya pasangan usia subur. Bagaimana agar mereka mengetahui tentang program KB. Contohnya, kalau pada pasangan usia subur berikan informasi yang mendidik mulai dari mengenal alat-alat kontrasepsi, penundaan usia perkawinan, bagaimana menjarangkan kelahiran, dan menunda kelahiran. Itu yang diharapkan bisa dicapai program kita,” ujarnya antusias.