(0362) 21648
ka.kbppbll@gmail.com
Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

SOSIALISASI DAN KOMUNIKASI TERKAIT DENGAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

Admin daldukkbpppa | 05 Oktober 2017 | 4967 kali

Dengan lahirnya banyak komunikator dan motivator di berbagai kalangan, juga menumbuhkan kesan bahwa pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak bukan kerja komunitas perempuan tertentu yang peduli tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak,  perempuan maupun laki-laki. Lembaga,  LSM,  atau komisi-komisi yang memiliki kepedulian terhadap kedua hal tersebut pun tidak terengah-engah kehabisan napas sendirian.  Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pelatihan kader komunikator dan motivator yakni di kalangan mereka yang memiliki jaringan komunikasi.  “Kita bisa belajar dari pengalaman gerakan Pemuda ZPG  (Zero Population Growth)  dalam mengenalkan gagasan dan anjuran ZPG akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an,” Pendiri Gerakan Pemuda ZPG Bali tahun 1976 itu mengungkapkan anjuran ZPG ada empat, yakni tunda usia kawin,  tunda kelahiran anak pertama,  jarangkan jarak kelahiran anak pertama dan kedua dan 2 anak cukup laki perempuan sama saja.  Tantangannya berat saat itu,  tetapi berkat kegigihan kader komunikator dan motivator yang telah terlatih, anjuran itu bergema di seluruh pelosok masyarakat Bali, di kampus, sekolah, maupun di pedesaan.


            Pelatihan kader ZPG diselenggarakan bertahap.  Pertama,  diikuti penyiar, wartawan dan penulis.Tahap II, dalang,  pemain teater tradisional dan modern. Tahap III,  tokoh masyarakat dan pemimpin informal. Tahap IV, pemuda - pemuda di banjar dan kelompok penulis pedesaan. “Besar atau kecil mereka memiliki jaringan komunikasi.  Merekalah yang menjadi penggerak penyebaran anjuran ZPG saat itu.


            Gerakan itu kemudian mendorong berkembangnya komunikasi getok-tular, sehingga memunculkan gerakan proaktif di kalangan masyarakat luas walaupun mereka tidak pernah tersentuh langsung kegiatan pelatihan. Ada mahasiswa mementaskan drama bertajuk  “Dua Anak Cukup”  ketika kuliah kerja nyata,  ada peserta gerak jalan yang mengenakan kaus bertuliskan pesan-pesan ZPG ada band yang menampilkan lagu-lagu ZPG,  ada yang mencantumkan anjuran ZPG dalam daftar menu makanan di bazar-bazar banjar, bahkan ada dalang sampai - sampai mendapat sebutan ‘dalang ZPG’.  Sebagai efek pendekatan komunikasi tersebut, ada teruna-teruni banjar yang dalam awik-awiknya menyebutkan,  ‘jika kawin sebelum usia 25 tahun, didenda dan tidak menerima kado dari teman-temannya’.


             “Pendekatan komunikasi semacam itu patut dikaji sejauh mana bisa diterapkan dalam upaya sosialisasi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sekarang ini,”  Selain pendekatan komunikasi Tahap satu, perlunya paradigma baru dalam mensosialisasikan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.


              Disamping ada beberapa tokoh yang berpendapat bahwa . Dalam upaya turut memberdayakan perempuan dan perlidungan anak,   menerapkan pendekatan sosial/budaya. Yang disentuh persoalan pokok yang dihadapi perempuan dan keluarga dalam kehidupan ekonominya. Oleh karena persoalan perempuan dan anak-anak banyak terjadi di pedesaan program pengentasannya banyak juga tertuju ke pedesaan.  Bantuan itu diarahkan untuk empat jalur pengabdian yakni di sektor pendidikan,  kesehatan,  air sanitasi dan lingkungan,  serta peningkatan ekonomi keluarga.  Di sektor kesehatan misalnya berupa operasi katarak keliling, penyuluhan HlV/AIDS, memberikan bantuan kacamata dan berpartisipasi dalam program dunia bebas polio,  pemeriksaan kesehatan wanita,  termasuk papsmear.  Selain membangun sarana pengadaan air di daerah kritis air, Ada salah satu LSM yaitu  Rotary Club  membantu pembangunan gedung bank darah di RSUP Sanglah. Sehingga LSM tersebut bisa berbuat lebih banyak lagi untuk kebajikan,”. 


B.    Peranan Media Masa dalam Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak


               Yang paling menyedihkan adalah pemberitaan media massa yang masih melanggengkan nilai nilai bias gender dalam masyarakat. Sebagian media massa memiliki kecenderungan menggunakan kata sensasional dan terkesan sadis. Kata-kata yang sensasional itu bisa menimbulkan efek kekerasan mendalam. Contoh, “Suami Hajar Istri Dengan Pipa Besi”, Terlambat Pulang, Istri Dipukul Besi”.


              Ada juga yang memiliki kecenderungan menggunakan kata-kata atau kalimat yang mendudukkan anak/perempuan korban perkosaan sebagai objek. Contoh misalnya, ‘Pekak/kakek  Gauli Gadis Cilik’, “Balita dicabuli Buruh”, “Penjual Sosis Setubuhi Bocah 8 Tahun”. Ada juga memiliki kecenderungan mendeskripsikan detail peristiwa yang dialami/dilakukan anak perempuan, khususnya dalam peristiwa perkosaan/kekerasan.


              Contoh, dalam berita, ‘Penjual Sosis Setubuhi Bocah 8 Tahun”, ditulis: “Belum sempat menikmati sosis,  pakaian bocah DM akhimya dipreteli tersangka. Di tempat sepi itu DM dicium dan disetubuhi tersangka dengan posisi menungging”.


 Kecenderungan memberitakan secara detail sebuah peristiwa dapat memberikan dampak negatif bagi anak-anak, perempuan, dan pembaca/pemirsa/pendengar. Dalam kasus perkosaan, deskripsi peristiwa yang terlalu mendetail dapat menimbulkan trauma bagi anak dan perempuan


C.    .Pencitraan Negatif


            Ada media massa memiliki kecenderungan mengganti nama korban perkosaan dengan nama “bunga” atau nama-nama bunga seperti mawar, melati. Penggunaan kata ganti ‘bunga’, ‘mawar’, ‘melati’, untuk inisial anak khususnya untuk anak yang menjadi korban perkosaan,  mempersepsikan. asosiasi kepantasan karena bunga memang harus ‘dipetik’ dalam arti diperkosa. Istilah ini merugikan anak dan perempuan.


             Ada yang melanggengkan istilah yang merugikan anak perempuan. Contoh, penggunaan istilah ‘perek’ untuk sebutan anak-anak yang menjadi pekerja seks. Di Semarang, ada sebutan ‘ciblek’ untuk anak pekerja seks. Istilah ‘perek’, ‘ciblek’, ‘wanita tuna susila’ merugikan perempuan dan anak karena istilah tersebut berkonotasi negatif. Anak dan perempuan tidak mendapat perlindungan tetapi diperlakukan secara negatif oleh masyarakat.


Sebaiknya gunakan istilah ‘Anak-anak yang dilacurkan’ Untuk anak-anak yang menjadi pekerja seks komersial.  Istilah ini lebih berorientasi pada upaya perlindungan dan menempatkan anak-anak yang menjadi pekerja seks sebagai korban yang perlu dilindungi. Istilah ini secara sosiologis juga lebih melihat bahwa  pelacuran  bukan datang atas satu kehendak namun lebih merupakan proses pemaksaan secara sosial,  seperti kemiskinan,  budaya patriarki.


 Istilah lain, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA). Istilah ini perlu disosialisasikan. Penggunaan kata ‘pekerja’ hendaknya lebih diprioritaskan daripada penggunaan kata ‘pembantu’.  Meskipun bekerja dalam rumah tangga,  mereka perlu mendapat perlakuan yang sama dengan pekerjaan lain. Penggunaan kata ‘pembantu’ seolah menempatkan pekerjaan mereka sebagai pekerjaan “membantu” dan berkonotasi “rendah”.   Perempuan dan anak juga sering diposisikan sebagai penyebab munculnya tindak kekerasan. Judul berita “Tolak Pulang Kampung, Istri Dibunuh” menunjukkan kalimat pasif yang lebih menonjolkan objek atau peristiwa.  Menurut Eriyanto (2005),  efek kalimat pasif adalah bisa menyembunyikan kehadiran pelaku karena tidak memerlukan subjek. Dalam berita mengenai kekerasan, tata kalimat ini sangat merugikan korban.  Dalam tata kalimat pasif,  perempuan korban kekerasan diperlakukan tidak adil karena dia yang sesunggulmya adalah korban malah menjadi pelaku.


             Dalam berita  “Bapak dan anak memperkosa secara bergiliran gadis tetangga yang menumpang nonton TV karena tidak tahan melihat kemolekan tubuh korban” juga terlihat adanya bias gender. Fakta tentang adanya kasus perkosaan tidak bisa dibantah. “Tetapi, berpakaian daster tipis menerawang dan terangsang adalah dua hal yang tidak selamanya bisa dijadikan hubungan sebab akibat untuk kasus perkosaan. Orang berpakaian lengkap pun banyak yang menjadi korban perkosaan,”


              Perempuan juga sering ditempatkan sebagai subordinat laki-laki, anak-anak subordinat orangtua. Media pun dapat melanggengkan pandangan masyarakat terhadap perempuan,  yakni perempuan adalah subordinat laki-laki. Sebagai subordinat laki- laki, perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya.  Sebaliknya, kepentingan laki-laki lebih dikedepankan. Persepsi ini tentu merugikan perempuan karena pada dasamya, dua penyebab utama kekerasan dalam rumah tangga adalah budaya patriarkis yang mendudukkan laki-laki sebagai makhluk yang dianggap superior dan perempuan Sebagai mahluk inferior, serta pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menganggap bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.


 Pemahaman bahwa perempuan adalah properti dan hak milik laki-laki makin memperlemah posisi perempuan.  Dengan anggapan seperti itu,  perempuan bebas diperlakukan  apa saja termasuk mendapat tindak kekerasan oleh laki-laki seperti dalam berita “Suami Hajar Istri Dengan Pipa Besi”.


             Media massa yang tidak sensitif gender, secara disadari atau tidak, memberi sumbangan terhadap pelestarian nilai ketidakadilan gender, salah satunya stereoti pe atau pencitraan negatif terhadap perempuan seperti berita “Mengaku Dianiaya ibu Tiri,  Gadis Cilik Telantar di Pantai


              Berita ini membangun citra negatif yang melekat pada status ibu tiri. Stigma ini tentu membuat’ perempuan yang menyandang status ibu tiri mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan secara tidak langsung akan dipersepsikan sebagai orang yang berkelakuan negatif.


              Selama ini,  masyarakat memberi pelabelan negatif pada penyandang status janda. Tak sedikit dan mereka dicap sebagai perebut suami orang,  perayu, dsb.  Begitu juga halnya dalam pemberitaan kasus aborsi.  Saat seorang perempuan mengaborsi bayinya,  muncul istilah “ibu biadab”.  Tak ada cerita di balik kisah itu:  betapa pengecutnya laki-laki yang tidak bertanggung jawab atas bayi yang dikandung si perempuan.


Ada media massa yang mengutamakan sensasi daripada esensi masalah. Media massa memiliki kecenderungan tidak mempertimbangkan dampak pemberitaan. Media massa terkesan mengutamakan sensasi daripada esensi masalah. Korban perkosaan malah “diperkosa” oleh tindakan wartawan yang mengajukan pertanyaan bertubi-tubi: “Bagaimana rasanya diperkosa?”, “Ceritakan prosesnya”, dsb.  yang membuat korban makin tertekan.


Ketika anak-anak menjadi pelaku tindak kejahatan,  media pun berpotensi menghakimi pelaku dengan pemberitaan yang mengutamakan sensasi daripada esensi masalah.


Anak-anak kerap dianggap sumber masalah tanpa didengar suaranya. Seharusnya, orangtua,  pemerintah belajar mendengar dan memfasilitasi kebutuhan anak-anak untuk tumbuh kembang mereka.


 


Sosiolog Dr. Tamrin Amal Tamagola (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998) menemukan lima citra perempuan dalam iklan,  yang ia sebut sebagai P-5:  yaitu : citra peraduan,  citra piguran,  citra pilar rumah tangga,  citra pergaulan,  dan citra pinggan. Yang di artikan sebagai berikut :


1.       Citra peraduan berkaitan dengan citra perempuan sebagai objek seksual.


2.       Dalam citra pigura,  perempuan diidentifikasikan dengan makhluk cantik dan harus menjaga kecantikannya dengan latihan fisik,  pakaian, kosmetik,  diet,  aksesoris.


3.      Sebagai pilar rumah tangga, perempuan harus menjalankan tugas domestik mulai sumur, dapur, kasur. Sebagai pilar,  perempuan harus bisa menjadi manajer rumah tangga: mengelola barang-barang di rumah,  mengelola keuangan keluarga,  dan mengelola anak-anak .


4.       Dalam citra pergaulan, ada sangkut pautnya dengan citra peraduan; mendampingi suami. sampai kegiatan lain yang agak “modern” seperti menemani tamu suami.


5.      Perempuan dalam citra pinggan, perempuan sebagai orang yang bertanggung jawab atas unisah dapur dirumah tangga “Sudah menjadi sebuah keharusan,  sehingga media menjadi agen kontruksi yang positif dalam upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,”


 


D.    Fakta memprihatinkan tentang kondisi anak Indonesia


               Masih banyak anak-anak Indonesia yang rentan terhadap situasi kekerasan. Kondisi ini menjadi tantangan utama UNICEF dan mitra-mitra lokalnya.


               Ada beberapa fakta yang cukup memprihatinkan. Diperkirakan sekitar 60 persen anak balita  Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Lebih dari 3 juta anak terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Bahkan, sekitar sepertiga pekerja seks komersil berumur kurang dari 18 tahun. Sementara 40.000-70.000 anak lainnya telah menjadi korban eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya. Belum lagi 5.000 anak yang ditahan atau dipenjara dimana 84 persen di antaranya ditempatkan di penjara dewasa.


               Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana. Lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orang tua. Secara psikologis anak-anak itu terganggu sesudah bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh dan Sumatra Utara pada 26 Desember 2004 silam.


               Seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dan di antara teman sebaya mereka. Tapi banyak kasus kekerasan semacam ini tidak terungkap. Atau, hal ini tidak dianggap sebagai kasus kekerasan karena kedua pihak tidak menganggapnya sebagai masalah. Seringkali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang lumrah karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Bahkan di banyak masyarakat, norma sosial dan budaya tidak melindungi atau menghormati anak-anak.


               Kasus kekerasan di Indonesia tidak mencuat karena tidak ada laporan resmi. Hal ini terjadi karena lingkungan budaya yang sudah mengakar. Masyarakat tradisional memang tidak mengakui insiden semacam itu. Buruknya penegakan hukum dan korupsi di kalangan penegak hukum juga membuat kasus-kasus kekerasan semacam itu tidak diselidiki. Akibatnya pelaku tindak kekerasan terhadap anak pun bebas dari jeratan hokum


 


E.    ANAK-ANAK YANG MEMPRIHATINKAN


Pada tahun 2000 Unicef (United Nations Children’s Fund) memberikan laporan berikut (seperti dimuat dalam “Konvensi Hak Anak”, Lembaga Studi & Pembangunan, 2000, hal 6) :


























No


Anak di  Negara berkembang


jumlah


1


Tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar


  130   juta


2


Bekerja di lingkungan yang berbahaya dan ter-eksploitasi


250  juta


3


Hidup dalam situasi genting dan berbahaya


250 juta


Secara lebih rinci Vivit Muntarbhorn (seperti dimuat dalam “Konvensi Hak Anak”, Lembaga Studi & Pembangunan, 2000, hal 6) mengidentifikasi kelompok-kelompok anak yang memprihatinkan sebagai berikut :


Anak-anak pedesaan : Sebanyak 70 % penduduk dunia, termasuk anak-anak, tinggal di pedesaan. Mereka seringkali tidak memiliki akses yang cukup terhadap pelayanan, sumber daya dan infrastruktur yang bisa membantu mengembangkan potensi mereka.


              Anak-anak jalanan dan daerah kumuh perkotaan : Sebagian anak tinggal di jalan dan lingkungan yang kumuh, yang memudahkan terjadinya berbagai konflik. Perjudian, penyalahgunanaan obat dan kekerasan mudah terjadi. Anak-anak dibiarkan menjadi pedagang asongan atau berkeliaran di jalan, sehingga kesehatan fisik ,mental,serta moral berada di bawah kewajaran.


              Anak perempuan : Kendati kesadaran terhadap kesetaraan jender semakin meningkat, tetap ada ketidakadilan terhadap anak-anak perempuan. Dalam hukum, diskriminasi di sebagian besar dunia telah dihapus. Tetapi dalam praktek, diskriminasi berdasarkan jender tetap ada. Salah satu buktinya adalah kenyataan bahwa tingkat buta huruf pada kaum perempuan lebih tinggi daripada pada kaum pria.


              Pekerja anak : Konvensi Hak Anak menyebut tindakan “mem-pekerja-kan anak” dengan istilah “eksploitasi ekonomi terhadap anak”. Anak-anak dilihat sebagai korban. Sebab mereka belum memiliki kapasitas dan kesadaran penuh untuk memilih bekerja. Selain itu mereka juga belum dapat memahami risiko-risiko dari pekerjaan mereka. Mereka belum memahami konsekwensi dari perjanjian kerja yang mereka buat. Meskipun eksploitasi ekonomi terhadap anak telah dilarang, hal itu toh masih sering terjadi. Agen-agen tenaga kerja dan jaringannya menjadi penyalur yang mengirim anak-anak dari pedesaan ke pabrik-pabrik di kota. Pencegahan terhadap praktek-praktek semacam itu sulit dilakukan, karena lemahnya sistem penegakan hukum dan terbatasnya pengawasan pemerintah. Masih sedikitlah strategi yang di-desain pemerintah untuk mencegah kelompok-kelompok swasta melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anak.


              Pelacuran anak : Sungguh pantas disayangkan bahwa ada orangtua yang menjual anak perempuan mereka dan ada agen-agen yang memperjualbelikan gadis-gadis belia. Tindakan itu sering tidak tampak, karena terjadi dalam skala kecil. Apalagi hukum yang melarang pelacuran anak tidak dijalankan secara efektif. Bahkan seringkali terjadi kolusi antara berbagai pihak, yang mengatur perdagangan anak .


              Anak-anak cacat : Banyak anak cacat tersingkir dari kehidupan masyarakat, karena mereka kurang punya akses terhadap pelayanan kebutuhan dasar. Jumlah anak cacat yang diterima di sekolah umum lebih rendah daripada jumlah anak normal, sementara sekolah umum juga kekurangan fasilitas khusus bagi anak cacat.


              Anak-anak pengungsi dan tidak berkewarganegaraan : Jutaan anak pengungsi di seluruh dunia dihadapkan pada segala bentuk diskriminasi dan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Mereka dianggap imigran gelap, sehingga nasib mereka bergantung pada belas kasihan orang-orang, yang memperlakukan mereka lebih sebagai orang-orang dewasa daripada sebagai anak-anak, yang memiliki kebutuhan khusus.


               Anak-anak dalam penjara : Meskipun PBB telah menetapkan berbagai standard administrasi seperti “The Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners”, termasuk perlindungan khusus bagi anak-anak, penerapannya toh belum memuaskan. Penyiksaan, pemukulan dan hukuman lain masih diberlakukan kepada anak-anak. Kasus Raju hanyalah sebuah „fenomena gunung es“. Artinya : bagian kelihatan dari suatu kenyataan yang sebenarnya jauh lebih besar!


               Anak-anak korban kekerasan dan terlantar : Daftar anak korban kekerasan, terlantar dan ter-infeksi AIDS tak pernah berakhir. Selain menjadi korban kekerasan di rumah, mereka kadang-kadang juga menjadi korban kekerasan sosial yang merusak mental dan fisik. Kendati tak ada data statistik yang akurat tentang jumlah anak korban kekerasan, tindak kekerasan yang sudah diketahui sebenarnya sudah cukup untuk ditindaklanjuti, dengan serangkaian tindakan yang komprehensif.


                Selain kelompok-kelompok di atas, masih ada beberapa kelompok lain yang juga memprihatinkan, seperti : anak yang butuh orangtua pengganti, anak dari kelompok minoritas, anak korban “broken home“, dan sebagainya.


F.     UNDANG-UNDANG  RI  YANG  MERUGIKAN ANAK


Undang-Undang  No 3/ Th 1997  Tentang Peradilan Anak


            Pasal 1 (1) menyatakan bahwa anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.  Dengan ketentuan itu, anak nakal yang berumur 16 tahun dan pernah kawin akan kehilangan haknya untuk diadili sebagai anak.


          Sementara itu, pasal 4 (1) menyatakan bahwa seseorang mulai bertanggungjawab atas tindak kriminalnya sejak berusia 8 tahun,  padahal “United Nations Standard Minimum Rules for the Administration Juvenille Justice 1985” (Beijing Rules) menyatakan :  sejak berumur 12 tahun. Ketentuan di negara kita itu jelas merugikan


           Ketentuan Undang-Undang ini tentang batas usia minimal untuk menikah antara laki-laki dan perempuan tidaklah sejalan dengan prinsip non diskriminasi. Usia minimal pria dan wanita untuk bisa menikah, dibedakan. (lihat Arief Gosita, op.cit., hal 96-99)


           Pada pasal 37 dan 41, Undang-Undang ini mengatur pembagian harta gono-gini. Namun, dalam praktek pengadilan,  penyelesaian dari perselisihan ini tidak ditindaklanjuti dengan upaya paksa agar salah satu pihak segera melaksanakan putusan, misalnya, membagi harta bersama dengan adil, dan memberi nafkah kepada anak-anak. Biasanya penyelesaiannyapun memakan waktu yang berlarut-larut.


          Pada pasal 3, Undang-Undang ini mengijinkan pria mempunyai beberapa istri. Dalam praktek, banyaklah kasus poligami yang memicu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan fisik,  psikis,  seksual dan ekonomi.


         Pada pasal 43, Undang-Undang ini menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya”. Padahal, setiap anak adalah anak dari kedua orang tuanya, terlepas dari apakah ia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu. Adalah hak anak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari kedua orang tuanya.


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


                 Pada bab XIV pasal 287(1) tentang kejahatan kesusilaan, KUHP menyatakan bahwa tindakan menyetubuhi anak berumur sampai 15 tahun merupakan delik aduan. Artinya, pelaku kejahatan baru bisa dituntut setelah ada pengaduan. Seharusnya delik ini bukan delik aduan, tetapi merupakan delik biasa, sehingga apabila tindakan menyetubuhi di lihat orang dapat langsung pelaku ditindak.


G.   HUKUM INTERNASIONAL TENTANG ANAK


                Hukum Internasional yang mengatur perlindungan anak adalah Konvensi Hak Anak. Konvensi ini lahir dari suatu kesadaran bahwa, sesuai kodratnya, anak adalah rentan, tergantung, lugu, dan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. Munculnya Konvensi Hak Anak didorong oleh perubahan yang terjadi di dunia pada abad ke 19, ketika anak masih dipandang sebagai „hak milik“ orangtua. Sampai awal abad ke 20, kehidupan dan nasib anak-anak belum dipedulikan oleh masyarakat dunia. Anak masih dipandang sebagai urusan keluarga, komunitas lokal, atau negara.


                 Syukurlah, pada tahun 1920, seorang aktivis perempuan Inggris Eglantyne Jebb mendirikan “Save the Children Internasional Union“ dan berhasil menyusun Deklarasi Hak Anak. Pada tahun 1959, Deklarasi itu disempurnakan menjadi Deklarasi Jenewa. Kemudian, Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyusun Rancangan Konvensi Hak Anak, yang disetujui pada tahun 1989, dan mulai berlaku tahun1990. Pada tahun 1990, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak Internasional. Sejak itu, pemerintah Indonesia wajib memenuhi hak-hak semua anak Indonesia. Secara garis besar isi Konvensi Hak Anak itu dibagi menjadi 8 kelompok, antara lain hal-hal penting berikut :


                 Definisi Tentang Anak


Pada pasal 1, Konvensi Hak Anak menegaskan bahwa anak adalah setiap  manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali bila Undang-Undang yang berlaku bagi anak menetapkan batas awal usia dewasa yang lebih cepat.


Prinsip-Prinsip Umum


a.        Non-diskriminatif :



    1. Pasal 2(1) menegaskan bahwa “negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak setiap anak tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul bangsa, suku bangsa atau status sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain …” Ketentuan ini jelas-jelas menegaskan prinsip non-diskriminatif, yang menjamin kesamaan hak bagi semua anak di dunia, yang berbeda-beda latar belakangnya.

    1. Yang terbaik bagi anak (The best interest of the child) :


  Pasal 3(1) menegaskan bahwa “dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah/swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau legislatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”.(Bandingkan dengan kasus Raju! )



    1. Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak :


  Pasal 6 (1) menegaskan bahwa “negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak atas kehidupan”. Sedang pasal 6 (2) menegaskan bahwa “negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (istilahnya : the survival and the development of the child)”.



    1.  Menghargai pandangan anak :


  Pasal 12(1) menetapkan bahwa “negara-negara peserta akan menjamin bahwa anak-anak yang memiliki pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan mereka secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan usia dan kematangan anak”


b.        Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif


  Pasal-pasal yang terkait adalah pasal 5, 18 (1-2), 9-11, 19-21, 25,27 (4), dan 39. Pasal-pasal ini menyangkut tanggungjawab orangtua, bimbingan orangtua, hak anak yang terpisah dari orangtuanya, hak anak untuk berkumpul kembali dengan keluarganya, pengambilalihan anak secara illegal dan anak yang terdampar di luar negeri, pemulihan pemeliharaan anak, anak yang terenggut dari lingkungan keluarganya, adopsi, peninjauan berkala atas penempatan anak, dan kekerasan serta penelantaran anak dalam keluarga.


c.         Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar


Pasal 24 (1) menetapkan bahwa „negara-negara peserta mengakui hak-hak anak untuk menikmati status tertinggi yang dapat dicapai dan memperoleh  sarana-sarana perawatan penyakit dan pemulihan kesehatan”.


  Pasal 26 (1) menetapkan bahwa “negara-negara peserta mengakui hak setiap anak untuk memperoleh manfaat jaminan sosial, termasuk asuransi sosial…”


d.        Pendidikan, Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya


  Pasal 29 (1) menetapkan bahwa negara peserta akan mengarahkan „pendidikan anak pada pengembangan kepribadian anak, bakat dan kemampuan mental, fisik hingga mencapai potensi mereka yang paling penuh”.


Pasal 31 (1) menetapkan bahwa “negara peserta mengakui hak anak untuk  beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam kegiatan rekreatif yang sesuai dengan usia anak bersangkutan dan turut