(0362) 21648
ka.kbppbll@gmail.com
Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

KELUARGA DAN KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN

Admin daldukkbpppa | 03 Maret 2015 | 10164 kali

Oleh : Anindita DS, MSR – Puslitbang Kependudukan
 
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.
 
Kesehatan Reproduksi (Kespro) perempuan  penting diketahui untuk dapat diterapkan kepada anggota keluarga dalam mengatasi permasalahan reproduksi perempuan. Kesehatan Reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.
 
Kesehatan reproduksi perempuan adalah suatu keadaan sehat perempuan secara fisik, mental dan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses reproduksi dan bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan.  Masalah kesehatan reproduksi pada seorang perempuan sangat dirasakan ketika masa kesuburannya berakhir (menopause), meskipun sebenarnya seorang laki- laki juga akan menghadapi hal yang sama yaitu mengalami penurunan fungsi reproduksi (andropause) walaupun dalam hal ini kejadiannya lebih tua dibanding pada seorang perempuan.
 
Kondisi yang harus dimiliki oleh seorang perempuan untuk mencapai fertilitas yang maksimum :
 
    Dia harus dalam kondisi tubuh yang sehat;  yaitu harus bebas dari penyakit dan kekurangan gizi yang mungkin menyebabkan sterilitas atau ketidaksuburan atau memperkecil tingkat keselamatan janin.
    Dia harus melakukan hubungan seksual secara rutin dalam masa suburnya, mulai dari masa awal tetapi tidak terlalu awal sehingga membahayakan kesehatan dengan kehamilan yang tidak tepat waktunya.
    Dia harus menghindari periode abstinen yang terlalu lama karena berpisah dengan pasangannya, menghindari prasangka yang mengatakan tabu untuk melakukan hubungan seksual selama masa kehamilan dan masa nifas atau masa menyusui, dan  hal-hal tabu lainnya berdasarkan agama atau pertimbangan lainnya.
    Dia harus dapat mengganti pasangan reproduktifnya atau mencari pasangan alternatif jika pasangan laki-lakinya steril atau menjadi impoten.
    Dia harus dapat memiliki pasangan meskipun dalam keadaan janda.
 
Bagaimanapun, ada perbedaan penting antara fertilitas maksimum dengan jumlah maksimum anak yang bisa selamat (anak pernah lahir hidup) (Easterlin, 1978). Sebagai contoh nutrisi dari bayi dan anak yang baik akan dapat memperpanjang periode menyusui sehingga memperpanjang masa nifas dan mungkin menunda awal dari hubungan seksual sampai pembuahan selanjutnya ingin dilakukan. Hubungan dengan lebih dari satu pasangan dapat beresiko menyebabkan sterilitas atau ketidaksuburan melalui penyebaran penyakit kelamin, hal tersebut juga mungkin dapat memperlemah rasa tanggungjawab terhadap perawatan anak sehingga dapat mengurangi tingkat probabilitas hidup si anak. Oleh karena itu memaksimalkan jumlah anak yang selamat tergantung pada jumlah yang optimal bukan pada jumlah yang maksimal untuk sejumlah variabel bebas ; fungsi yang mengkaitkan hubungan antara jumlah anak yang selamat dan variabel bebas tersebut terkadang berbentuk kurva terbalik bukan berbentuk linier.